Menyoal Badut-badut Kekuasaan dalam Tubuh IMM

badut badut imm

Modernis.co, Jakarta – Tulisan ini dalam rangka mengkritisi tulisan yang berjudul “Jangan Naif Ber-IMM” yang ditulis oleh Haryono Kapitang (Aktivis AMM Yogyakarta). Tulisan tersebut diterbitkan di modernis.co pada 13 januari 2024. Menariknya adalah tulisan tersebut adalah bentuk kritikan pada tulisan yang lain dalam judulnya “Jangan jadikan IMM Sebagai Komoditas Politik” yang di tulis oleh oleh IMMawan Muhammad Adam Ilham Mizani (Aktivis DPD IMM dan PWPM Jawa Tengah).

Dalam ruang intelektual ini maka saya juga ingin ikut serta dalam memberikan pandangan mengenai hiruk-pikuk persoalan yang sedang hangat dalam perbincangan kader IMM. Kontestasi pemilu 2024 diguncangkan dengan keberpihakan dari manuver politik Ketua Umum DPP IMM Abdul Musawir Yahya kepada salah satu calon presiden dan wakil presiden.

Setelah membaca kedua tulisan tersebut saya mendapati sebuah kesimpulan bahwa tulisan Haryono Kapitang hanya sekedar pengumpak, karena m mengidentifikasi bahwa objektifikasi mengenai isu kenegaraan dan pergerakan IMM sangat lemah.

Pertama, mengenai tindakan Ketua Umum DPP IMM Abdul Musawir Yahya, Gerakan Bergerak 1912 adalah relawan salah satu pasangan capres yang memiliki akselerasi yang cukup tendensius telah melanggar etika. Hal ini dibuktikan dengan Keputusan MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) Nomor 02/MKMK/L/11/2023, yang mana kemudian di dalam proses terpilih nya sudah memberikan satu pandangan yang sama bahwa ada kompromi etika mengenai kekuasaan.

Pada dasarnya memang Bergerak 1912 bukan partai politik tapi keberpihakan individu seseorang dalam menjalankan hak nya sebagai warga negara Indonesia yang bebas. Namun, Haryono Kapitang lupa bahwa sebenarnya Abdul Musawir Yahya saat ini masih aktif memangku jabatan yang memiliki nilai-nilai ideologis yang jelas dengan jargonnya “Anggun dalam Moral Unggul Dalam Intelektual”.

Sehingga seharusnya moralitas atau nilai etika menjadi pondasi utama dalam meletakkan kebijakan serta keberpihakan.
Tindakan pribadi Abdul Musawir Yahya ini perlu dikritisi, sebab Ketua Umum DPP IMM menjadi representasi kader-kader IMM. Gerakan Bergerak 1912 ini juga secara gamblang menunjukan makna bahwa yang mewakili gerakan ini adalah komunal masyarakat Muhammadiyah terutama mahasiswa ataupun pemuda Muhammadiyah.

Maka pendapat Haryono Kapitang mengenai prinsip Abdul Musawir Yahya hal yang masuk akal kiranya adalah sebuah kekeliruan, karena makna dasar mengenai IMM tidak boleh berafiliasi partai politik adalah untuk menunjukan bahwa IMM tidak ada pada ruang-ruang pragmatisme atau menjadikan IMM sebagai batu loncatan atau jualan pada kekuasaan atau rezim. Apa yang dilakukan oleh Abdul Musawir Yahya yang menjadi bagian dari Bergerak 1912 adalah karena dia seorang Ketua Umum DPP IMM bukan karena pribadinya. Sehingga sudah diketahui sejak awal yang menjadikan Abdul Musawir Yahya bagian dari relawan tersebut adalah atribut yang melekat pada dirinya saat ini, yaitu Ketua Umum DPP IMM.

Kedua, menilik pendapat Micheal Foucault tentang Power/Knowledge bahwa kekuasaan sekarang dan pengetahuan itu beririsan antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian kebenaran tidak menjadi sebuah objek kajian, karena memang kebenaran adalah sebuah hal yang bisa didebatkan. Oleh sebab itu pernyataan Haryono Kapitang mengenai kebenaran adalah sesuatu yang tidak berasal dari sebuah kebiasaan dan beberapa banyak yang mengakuinya di kutip dari K.H Ahmad Dahlan.

Merupakan sebuah cocokologi semata, sebab tentu kritikan mengenai sikap egois dan pengkhianatan Ketua Umum DPP IMM merupakan bagian dari kajian dan jejak historis, sebuah kebiasaan yang memang pada akhirnya bertujuan kepada hal tersebut. Sekalipun memang hal itu tidak menjadi sebuah pelanggaran hukum, akan tetapi itu adalah sikap egois pemimpin gerakan kemahasiswaan yang mendedikasikan dirinya pada kekuasaan akan tetapi luput untuk ingat keberpihakan pada masyarakat dan mahasiwa yang lemah.

Pada dasarnya Haryono Kapitang menyepakati bahwa memang tujuan akhir dari tindakan egois Abdul Musawir Yahya adalah untuk kekuasaan atau jabatan. Di akhir tulisan Haryono Kapitang menunjukkan dan membandingkan IMM dengan gerakan kemahasiswaan lain. IMM dianggap tertinggal jauh untuk mengisi pos-pos strategis, hal ini memberikan gambaran bahwa Haryono Kapitang mengamini tuduhan tersebut dengan tersirat.

Mengakhiri tulisan ini saya ingin memberikan sebuah kesimpulan kepada kader-kader IMM yang mungkin sepemikiran dengan Haryono Kapitang bahwa isu-isu atau diskusi-diskusi di ruang publik atau privasi baik formal maupun informal mengenai diaspora kader dalam ranah politik menjadi sebuah isu yang perlu dirumuskan dengan baik.

Maka bukan berarti dengan tindakan-tindakan pragmatisme yang melanggar dan menghilangkan nilai-nilai ideologis ber-IMM karena apabila kita beranggapan bahwa idealisme adalah sebuah hal yang tidak bisa diterapkan pada ranah politik Indonesia saat ini, maka dengan argumentasi itu juga kita mengakhiri sebuah kemewahan idealisme itu sendiri dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yaitu kekuasaan.

Oleh: Tegar Lesmana Aktivis IMM Yogyakarta

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment